Ada Cinta di Desa Menari Tanon

Cring! Cring! Cring!
Bunyi lonceng nyaring terdengar seiring para penari menghentakkan kakinya.



Dua belas remaja melenggak-lenggok mengikuti suara gamelan. Dengan gerakan enerjik, ditambah rias wajah cerah imitatif burung, dan hiasan kepala tinggi menjulang, penampilan para penari Topeng Ayu ini sukses membius para penonton. Tari Topeng Ayu adalah produk asli dari dusun Tanon. Tarian ini merupakan pengembangan dari Tari Topeng Ireng*.

Marthamelliana.com
Dua remaja putri penari Topeng Ayu

Sebagai orang awam, saya melihat gerakan tarian Topeng Ayu terkesan sederhana. Namun ternyata tarian yang merupakan akronim dari Toto Lempeng Hayuning Urip* ini sarat akan makna filosofis. Simbol-simbol gerakan tarian Topeng Ayu menyampaikan makna yaitu rasa hormat, baik ketika maju beksan, beksan dan mundur beksan sebagai bentuk interaksi sosial untuk menciptakan masyarakat yang terbuka.

Usai pentas, MC mempersilahkan pengunjung apabila ingin belajar menari

Kita juga bisa pose dengan kostum penari Topeng Ayu lho.
Cukup dengan membayar Rp 3.000 saja. Murah kan!


Tidak hanya Topeng Ayu, dusun Tanon yang terletak di kaki gunung Telomoyo juga memiliki beberapa tarian lain yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Saya sempat menikmati tari Geculan Bocah yang dibawakan oleh 8 anak laki-laki berusia 5-10 tahun.

Di tengah cuaca yang cukup terik, bocah-bocah dengan rias wajah yang kocak ini tetap lincah mengikuti irama ceria dari tari Geculan Bocah
Penonton memadati area pentas meski panasnya menyengat, terpesona oleh penari Geculan Bocah

"Dek, sejak kapan ikut menari?" tanya saya pada salah satu bocah usai turun panggung.

"Sejak kelas 2," jawabnya.

"Sekarang kelas berapa?"

"Kelas 4."

"Kamu memang suka menari atau disuruh?" tanya saya lagi.

"Suka," jawabnya mantap.

Kesenian bagi penduduk dusun Tanon memang sudah mendarah daging. Tidak salah jika akhirnya dusun yang berada tak jauh dari Kopeng ini menyebut diri sebagai Desa Wisata Menari.

Menari adalah akronim dari Menebar Harmoni, Merajut Inspirasi, Menuai Memori

"Tadinya hanya Desa Wisata Tanon saja. Tapi ternyata nama Tanon juga ada di daerah Sragen. Karena banyak yang nyasar, akhirnya kami branding sebagai Desa Menari Tanon agar tidak keliru," jelas mas Trisno.

Bapak 3 anak, penduduk asli yang juga sarjana pertama di dusun Tanon inilah yang berhasil mengangkat nama Desa Menari Tanon.

Mas Trisno

Berawal dari rasa cinta yang tinggi terhadap desanya, mas Trisno berusaha keras meraih gelar sarjana untuk kemudian kembali mengabdi di desa. Suatu hal yang tidak lazim pada masa itu. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi lalu kembali ke desa?

"Padahal para pemuda yang sudah jadi sarjana ini tidak harus turun ke sawah (bertani) atau terjun sendiri mengurusi sapi (beternak). Mereka bisa membantu orang tuanya dengan cara mengajarkan metode terbaru tentang penanganan paska panen, atau mencarikan komunitas peternak online, atau menawarkan hasil panen orang tuanya secara daring. Lebih kearah manajemen lah," kata mas Trisno, menanggapi soal para sarjana yang enggan kembali ke desa.

Butuh 5 tahun bagi mas Trisno untuk menemukan formula yang tepat dalam pemberdayaan masyarakat di dusun Tanon, desa Ngrawan, kabupaten Semarang.

Tadinya pria yang akrab dipanggil kang Tris ini berniat memberdayakan warga lewat produksi susu sapi. Namun sayangnya hanya bertahan 2 tahun karena susu hasil perahan warga banyak yang ditolak oleh pihak pabrik. Alasannya kualitas susu kurang bagus. Tak kuat menanggung kerugian, pada tahun 2009 usaha inipun berhenti.

Kegiatan memerah susu sapi di rumah Wo Sarbini

Vakum selama satu tahun, di tahun 2010 datang ide dari salah satu kenalannya. Sang kenalan mengusulkan agar membuat kegiatan outbond di dusun Tanon. Dengan suasana desa yang masih asri, ditambah pengalaman mas Trisno sebagai pemandu outbond, sang kenalan meyakinkan mas Trisno bahwa kegiatan tersebut akan sukses. Sosok ini jugalah yang kemudian kerap mengajak rombongan dari dalam dan luar negeri untuk wisata dan outbond di dusun Tanon.

Benar saja. Dua tahun kemudian program tersebut semakin berkembang. Tak hanya menjadi pemandu outbond, warga desa juga semangat ketika diminta mempertontonkan tarian. Bahkan beberapa warga bersedia menata kamarnya untuk menerima wisatawan yang ingin merasakan menginap ala ndeso. Live in, begitu warga menyebut kegiatan ini.

Salah satu homestay dusun Tanon

Flying fox

Permainan tradisional: naik egrang

Kesenian pantomim yang digelar di area Pasar Rakyat


"Mas, supaya lebih berkembang, coba daftar SATU Indonesia Award," usul adik mas Trisno.

Mas Trisno mengikuti saran dari adiknya. Tapi karena ada syarat yang masih belum terpenuhi, saat itu mas Trisno belum bisa masuk menjadi nominator.

Meski demikian, rupanya pihak Astra terus memantau perkembangan mas Trisno. Setiap tahun dari Astra ada yang meneleponnya untuk menanyakan perkembangan dusun Tanon.

Setelah tiga tahun berlalu, pada tahun 2015, penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards Bidang Lingkungan berhasil diraih oleh mas Trisno. SATU Indonesia Awards merupakan penghargaan bagi anak bangsa yang tidak kenal lelah dan tanpa pamrih menggerakkan kemajuan masyarakat. Tapi, benarkah seorang Trisno tidak pernah merasa lelah menggerakkan masyarakat?

"Benar, Mbak. Gak pernah lelah. Mas Trisno itu semangatnya selalu membara jika sudah menyangkut pemberdayaan warga. Memang passionnya disitu. Malah saya yang kerap ngembosi," tutur Nuryanti, istri mas Trisno, sambil tertawa.

Wanita yang akrab disapa mbak Nur ini dulunya kerap meminta sang suami untuk fokus mencari penghasilan saja.

"Saya rasanya gimana gitu melihat suami sudah totalitas kerja sosial, tapi ternyata ada saja orang yang tidak suka. Daripada sudah capek dan masih dipaido (dicemooh), kan lebih baik mikir keluarga sendiri aja," lanjut mbak Nur.

Seiring waktu, mbak Nur yang juga memiliki jiwa sosial tinggi ini, bisa memaklumi kegigihan mas Trisno. Apalagi semenjak mendapat tanah dan berhasil membangun rumah.

"Tadinya kami tinggal di Kopeng, di satu petak rumah yang juga sebagai tempat usaha apotek. Sempit, Mbak. Jauh kalau sama yang ini," ujar perempuan yang berprofesi sebagai apoteker ini sambil menunjuk lantai. Reflek mata saya menyusuri ruang tamu tempat kami mengobrol. Ruangan ukuran 3×8 meter dengan tembok bata ekspose dan langit-langit yang tinggi terasa lapang dan sejuk.

Mbak Nuryanti di rumah yang juga berfungsi sebagai sekertariat Desa Menari

"Tanah ini harganya murah. Udah gitu sang pemilik tidak mau dibayar tunai. Maunya dicicil. Jadi tiap dia butuh uang, dia bakal minta ke kami. Nanti kami catat. Kadang minta Rp 500.000, kadang Rp 1.000.000. Alhamdulillah. Berkah untuk kita, Mbak," lanjut mbak Nur dengan mata berbinar.

Saya ikut takjub dengan kemudahan yang pasangan ini dapatkan.

"Waktu bangun rumah juga sama. Uang kami kan terbatas. Jadi kami sedikit demi sedikit menabung bahan bangunan. Lalu saat bahan sudah terkumpul, kami mencoba menghitung estimasi biaya tukang. Perkiraannya sekitar 30 juta. Tapi ternyata membengkak. Bingung banget, bagaimana cara menutup kekurangannya. Alhamdulillah dapat hadiah SATU Indonesia Award. Sebagian untuk nutup rumah, dan sebagian kami pakai untuk membangun sanggar (pendopo)," katanya antusias.

Pendopo Sanggar Ki Tanuwijaya

Saya manggut-manggut mendengar penjelasan mbak Nur. Inilah bukti bahwa usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Mas Trisno dan mbak Nuryanti sudah merelakan waktu, tenaga dan hartanya untuk kepentingan orang banyak. Maka di momen yang tepat, semua pengorbanan tersebut dibayar lunas oleh Allah.

"Setelah dibina PT Astra menjadi Kampung Berseri Astra (KBA), apa pengaruhnya terhadap desa ini, Mbak," tanya saya.

"Yang pasti kami mendapat promosi. Dusun Tanon jadi terkenal. Bahkan di awal kami sempat kewalahan menjelaskan pada pengunjung yang langsung datang tanpa konfirmasi. Dusun kami ini kan modelnya ekowisata. Jadi aneka permainan tradisional, pentas seni, outbond dan homestay akan kami siapkan apabila ada rombongan pengunjung. Harus reservasi dulu sebelum kesini. Kalau tidak janjian dan datang diluar tanggal festival ya tidak ada apa-apa. Sepi."


Suasana dusun saat tidak ada jadwal festival atau jadwal kunjungan

Udara sejuk dan pemandangan yang asri membuat turis asing kepincut

Reservasi lewat www.desawisatatanon.com sebelum berkunjung

"Astra juga terus memberikan bantuan terkait 4 pilar. Seperti pembuatan taman toga, pembuatan selokan, bakti sosial, kewirausahaan, seperti itu," lanjutnya. "Semenjak jadi KBA, kesadaran warga akan kebersihan lingkungan juga semakin meningkat."

Balai tempat kegiatan bakti sosial

Kegiatan bakti sosial.
Foto milik instagram @festivallerengtelomoyo

"Kalau jalan beton itu dari Astra juga, Mbak?" Saya menunjuk jalan yang berada di dekat mushola.



"Tidak. Ini dari pemerintah. Tapi berkat branding kami sebagai desa wisata, maka kami diijinkan membuat jalan selebar ini. Supaya kendaraan bisa papasan. Aslinya jalan dusun tidak boleh selebar itu, Mbak," jelas ibu dari dua putri dan satu putra ini.

Saya teringat ketika rombongan kami tiba di dusun Tanon, bis yang kami tumpangi berjalan sangat pelan saat berpapasan dengan mobil di sebelah kiri. Tidak bisa saya bayangkan jika ukuran jalan lebih sempit dari yang sekarang.

Kunjungan kali ini ditutup dengan makan siang bersama. Menunya istimewa yaitu nasi jagung buatan warga dusun Tanon. Lengkap dengan lauknya: kering tempe, gudangan dan peyek teri.

Nasi jagung komplit. Must try!
Harganya Rp 10.000 per porsi di Pasar Rakyat

Senangnya pergi ke Festival Lereng Telomoyo di dusun Tanon bersama kawan-kawan blogger, Astra dan Perhumas.
Foto milik Norma Fitriana

Saya pulang dengan membawa kekaguman akan semangat mas Trisno. Tak hanya di desanya, pria yang namanya berarti 'cinta' ini juga terus berupaya menebarkan konsep pemberdayaan masyarakat pada Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) di daerah lain agar semakin banyak Trisno-Trisno yang muncul.

Berdedikasi, pantang menyerah, dan memegang prinsip, sosok mas Trisno rasanya pantas menjadi role model bagi pemuda Indonesia.

Materi seminar mas Trisno

== Sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya untuk manusia lain ==


*Topeng Ireng= Toto Lempeng Irama Kenceng; artinya menata hidup dengan semangat bekerja
*Toto Lempeng Hayuning Urip; artinya menata hidup agar lebih bermanfaat untuk sesama.


2 komentar:

  1. Jadi pengen makan nasi jagung dan urap lagi setelah lihat postingan ini. Aku suka dengan tari Geculan Bocah dan tari Topeng Ayu.

    BalasHapus
  2. Iya lho. Nasi jagungnya endezz

    BalasHapus